Mereka memandang bahwa hadis-hadis ahad dapat mengkhususkan (takhsis) atau menjelaskan (bayan) ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mengubah pemahaman terhadap prinsip bahwa seseorang hanya akan memperoleh pahala dari usahanya sendiri.
Pandangan Majelis Tarjih ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Muslim yang menyatakan bahwa amal baik yang dilakukan atas nama seseorang, seperti doa anak yang saleh untuk kedua orang tuanya, adalah pengecualian dari prinsip bahwa amal seseorang terputus setelah meninggal dunia.
Dalam konteks ini, hadis tersebut dianggap sebagai penjelas atau pengecualian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum.
Sebagai hasilnya, Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa badal haji dapat diterapkan bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji namun tidak dapat melaksanakannya karena alasan fisik atau alasan lainnya, atau bahkan bagi yang telah meninggal dunia.
Dalam kasus seperti ini, anak atau saudara yang telah melaksanakan haji dapat menjalankan ibadah haji atas nama mereka.
Dengan demikian, penting untuk dicatat bahwa badal haji tidak bisa semata-mata diwakilkan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang mewakilinya.
Badal haji seharusnya hanya dilakukan oleh anak atau saudara yang telah melaksanakan ibadah haji sendiri.
Dalam menangani badal haji, integritas moral dan ketulusan niat harus menjadi pijakan utama, menjaga kesucian dan keaslian ibadah mulia ini.
Baca Juga: Begini Cara Daftar Haji Plus Sekaligus Total Biaya yang Harus Dibayar
Source | : | muhammadiyah.or.id |
Penulis | : | Lena Astari |
Editor | : | Lena Astari |
Komentar