Diskusi mengenai badal haji terutama menyoroti beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang menggarisbawahi prinsip bahwa seseorang hanya akan memperoleh pahala dari usahanya sendiri.
Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah, dalam Al-Qur’an, ayat-ayat seperti QS an-Najm (53): 38-39 dan QS. Yasin (36): 54, menegaskan prinsip bahwa setiap individu akan memikul konsekuensi dari perbuatannya sendiri, tanpa dibebani oleh dosa atau pahala orang lain.
Ini menjadi landasan bagi beberapa ulama yang memandang bahwa badal haji bertentangan dengan prinsip ini.
Namun, di sisi lain, hadis-hadis Nabi saw memberikan pengecualian terhadap prinsip ini.
Hadis riwayat Muslim dan al-Bukhari menyatakan bahwa seseorang dapat memperoleh pahala dari perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain atas nama mereka.
Seperti anak yang mendoakan kedua orang tuanya atau seseorang yang melunasi hutang orang lain kepada Allah.
Pandangan ulama tentang badal haji sangatlah bervariasi.
Sebagian menganggap bahwa hadis-hadis yang bersifat mendukung badal haji bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak.
Oleh karena itu, badal haji tidak dapat dijalankan.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hadis-hadis tersebut dapat mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga badal haji tetap dapat dilakukan.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap hadis-hadis dalam konteks badal haji.
Baca Juga: 5 Ide Jualan Saat Lebaran Haji yang Pasti Laku dan Banyak Dicari