GridFame.id - Belakangan ini di jagat maya heboh penggunaan Ivermectin sebagai obat yang dianggap manjur untuk menyembuhkan pasien yang terpapar Covid-19.
Benarkah manjur?
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan Ivermectin adalah obat keras yang tidak boleh dibeli secara individu tanpa resep dokter.
Obat ini juga tidak bisa diperjualbelikan tanpa distribusi obat yang baik.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan POM, Penny Lukito, dalam konferensi pers "Penggunaan dan Pengawasan Peredaran Ivermectin".
Penny berkata bahwa izin edar Ivermectin pada saat ini hanya untuk cacingan dan infeksi cacingan, sehingga masyarakat tidak boleh menggunakan obat ini secara sembarangan untuk mengobati apalagi mencegah Covid-19.
Pasalnya, data-data uji klinik yang ada belum kompulsif untuk menunjang Ivermectin sebagai obat Covid-19.
"Belum ada data uji klinik yang bisa kita gunakan untuk mengevaluasi, menilai dan memberi izin Ivermectin sebagai obat Covid-19," ujar Penny, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (3/7/2021).
Di Indonesia sendiri, uji klinik untuk membuktikan efektifitas Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 baru akan dimulai dengan dikeluarkannya Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) oleh Badan POM baru-baru ini.
Hal ini sejalan dengan WHO yang dalam panduan terbarunya (31 Maret 2021) menegaskan bahwa Ivermectin hanya dapat dipergunakan dalam rangka uji klinik.
Efek samping Ivermectin untuk terapi Covid-19 bisa lebih parah Ivermectin terdaftar di Indonesia dengan sediaan kaplet 12 mg. Obat ini diberikan dalam dosis tunggal, biasanya satu tahun sekali, untuk membunuh cacing dan larvanya di rongga perut.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, berkata bahwa ketika digunakan dengan indikasi tersebut, Ivermectin dapat menimbulkan efek samping langsung berupa diare, ngantuk, mual dan muntah.
Pada pasien dengan gangguan liver, Ivermectin bahkan bisa menyebabkan perburukan fungsi hati.
"Sejatinya obat ini kerjanya lokal untuk membunuh larva atau cacing di usus, sehingga kalau ini (Ivermectin) akan ada di dalam darah untuk membunuh virus tentu akan membutuhkan dosis yang lebih besar lagi," ujar Ari.
Dia melanjutkan, ini yang jadi pertanyaan, berapa dosis yg harus diberikan (dan) perlu berapa lama? Ini yang perlu studi-studi lebih lanjut.
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, juga sependapat. Dia berkata bahwa efek samping Ivermectin yang terdaftar dalam database WHO memang terkesan ringan, yakni diare, gatal dan sakit kepala.
Namun, itu hanya untuk dosis Ivermectin sebagai obat anti parasit dengan mekanisme kerja lokal, serta hanya digunakan setahun sekali atau enam bulan sekali.
"Itu saja sudah ada beberapa catatan terkait dengan laporan efek samping, apalagi jika dipakai untuk Covid-19 dengan dosis yang tentu saja akan berbeda dengan yang dipakai untuk anti parasit," kata Zullies.
Dosis yang lebih besar atau masa pakai yang lebih lama tentu berimplikasi pada efek sampingnya yang lebih besar juga.
"Belum tentu juga kadar obat dalam darahnya bisa tercapai untuk menimbulkan efek sebagai antiviral, tetapi mungkin justru efek sampingnya yang bisa muncul," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ivermectin Obat Keras, Penggunaannya untuk Covid-19 Bisa Timbulkan Efek Samping Besar "
Source | : | kompas |
Penulis | : | Miya Dinata |
Editor | : | Miya Dinata |
Komentar