GridFame.id - Ancaman resesi ekonomi secara global semakin nyata di depan mata.
Ini disebabkan kenaikan suku bunga acuan secara agresif yang dilakukan bank sentral berbagai negara untuk meredam laju inflasi.
Dalam gelaran konferensi pers APBN KiTa pada awal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksi, ekonomi dunia akan masuk jurang resesi pada 2023.
Proyeksi ini dibuat mengacu kepada studi Bank Dunia terkait pengetatan kebijakan moneter bank sentral berbagai negara.
"Kalau bank sentral di seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, maka dunia pasti mengalami resesi di tahun 2023," ujar Sri Mulyani, dikutip dari pemberitaan Kompas.com sebelumnya, Rabu (28/9/2022).
Dengan risiko resesi global yang semakin nyata, peningkatan porsi kepemilikan uang tunai dinilai semakin perlu.
Sebab, resesi global berpotensi berimplikasi terhadap keberlangsungan hidup individu.
Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi Mike Rini Sutikno menjelaskan, resesi yang berpotensi terjadi nanti utamanya akan disebabkan oleh lonjakan inflasi.
Dengan demikian, individu perlu merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhannya.
Di sisi lain, resesi berpotensi mengganggu pendapatan individu.
Risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi sangat mungkin terjadi, di tengah perlambatan roda perekonomian nasional.
Baca Juga: MURAH MERIAH! Promo Indomaret Kamis 29 September 2022, Harga Minyak Goreng 2 Liter Rp 20.000-an Saja
"Karena itu memang masuk akal dalam kodisi seperti ini kita itu meningkatkan kita punya dana emergency," ujar dia, kepada Kompas.com.
Uang tunai sebagai dana darurat
Mike menjelaskan, peningkatan porsi uang tunai sebagai dana darurat diperlukan untuk menjaga likuiditas individu, di tengah ketidakpastian ekonomi ke depan.
Dengan tingkat likuiditas keuangan yang baik, individu akan mampu bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama.
"Dalam rangka peningkatan likuiditas ini adalah peningkatan dari dana darurat, menjaga dana darurat kita sesuai dengan kebutuhan kita," katanya.
Perlukah kurangi dana untuk investasi?
Meskipun tingkat kepemilikan uang tunai memang perlu ditingkatkan, Perencana Keuangan Alliance Group Indonesia Andy Nugroho menyebutkan, bukan berarti individu perlu mengurangi porsi investasinya.
Menurutnya, individu masih dapat berinvestasi, namun dalam instrumen berisiko rendah.
Selain itu, disarankan juga instrumen investasi yang dipilih dapat dicairkan dengan mudah menjadi uang tunai.
"Karena kalau berbentuk uang tunai semua, seperti yang kita tahu, misal berbentuk uang tunai, uang tersebut kemungkinan akan kita simpan di tabungan bank atau didepositokan. Bunganya, imbal hasilnya bisa dibilang minim, enggak kuat melawan inflasi," tuturnya.
Oleh karenanya, Ia merekomendasikan individu untuk menempatkan dana investasinya di instrumen berisiko rendah seperti logam mulia atau deposito.
Baca Juga: Tidak Bayar Iuran BPJS Kesehatan Namun Tetap Bisa Mendapat Fasilitas Bagaimana Caranya?
Reksa dana berbasis penghasilan tetap juga dapat menjadi pilihan.
"Yang enggak boleh, uang masih berbentuk properti, itu kan susah jualnya, perlu waktu. Itu yang dihindarin," ujarnya.
"Atau misal berisiko tinggi di pasar saham atau reksa dana berbasis pasar saham, itu kita hindari. Kenapa? Nanti ketika waktunya dibutuhkan, misal nilainya anjlok, itu membuat cadangan dana kita kurang," tambah Andy.
Namun demikian, jika individu memiliki profil risiko investasi agresif, maka kepemilikan saham masih bisa menjadi pilihan, dengan catatan tetap memperhatikan kondisi pasar dan prospek ke depan.
"Perlu atau tidaknya mengurangi kepemilikan saham, tergantung profil risiko masing-masing," ucap Andy.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Resesi Global di Depan Mata, Waktunya Kurangi Investasi dan Simpan Uang Tunai?
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Lena Astari |
Editor | : | Lena Astari |
Komentar