GridFame.id - Perpindahan ibu kota ke Penajem Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dianggap sebagai pilihan terbaik.
Pulau Kalimantan merupakan pulan teraman di Indonesia karena jauh dari batas lempeng.
Oleh karena itu, jarang sekali terdengar adanya gempa di Kalimantan.
Pasalnya, selama ini pusat kegiatan ekonomi hanya terpusat di Pulau Jawa, khususnya Jakarta.
Akibatnya, Pulau Jawa menjadi sangat padat hingga menyebabkan ketimpangan di pulau-pulau lain.
Dikutip dari Kompas.com, presiden Joko Widodo telah mengumumkan kepastian perpindahan ibukota di bulan Agustus 2019.
Daerah Penajam Passer Utara-Kutai Kartanegara pun akan dijadikan provinsi baru.
Dengan berpindahnya ibu kota ini menyebabkan sejumlah instansi pusat di Jakarta juga akan di pindah.
Instansi tersebut diantaranya Istana dan lembaga eksekutif, DPR, MPR, DPD, MA, MK, Mabes Polri, Mabes TNI, hingga Bank Indonesia.
Perpindahan ibu kota ini diprediksi akan menambah 1,5 juta penduduk baru yang terdiri dari jumlah pegawai negara dan keluarganya.
Baca Juga: Bagaimana Nasib Jakarta Kalau Ibukota Pindah? Pemerintah Pastikan Jakarta Tetap Ramai
Terlepas dari wabah virus corona, perpindahan ibu kota ini diprediksi akan dimulai di tahun 2021.
Melihat pemilihan pembangunan ibu kota baru, peneliti gabungan dari Inggris dan Indonesia malah mengabarkan fakta yang mencengangkan.
Dikutip dari Kompas.com, Jumat (24/4/2020), peneliti menemukan bahwa adanya potensi risiko tsunami di dekat calon ibu kota yang abru.
Para peneliti menemukan bahwa tanah longsor bawah laut beberapa kali terjadi di Selat Makassar, yaitu antara pulau Kalimantan dan Sulawesi.
Kejadian longsor tersebut bisa terjadi lagi dan bisa menyebabkan tsunami yang membanjiri Teluk Balikpapan, yaitu daerah yang dekat dengan ibu kota.
Hingga saat ini, para peneliti belum bisa memprediksi kapan longsor bawah laut akan terjadi.
Sebelumnya, longsor bawah laut pernah terjadi 2,6 tahun terakhir.
Para peneliti melakukan penelitian menggunakan data seismik untuk menyelidiki sedimen dan struktur di dasar laut Makassar.
Dr. Uisdean Nicholson dari Heriot-Watt University, Inggris mengungkap bahwa pemerintah bisa melakukan pertimbangan lebih lanjut dari risiko ini.
Walaupun demikian, peneliti mengungkap untuk tidak bereaksi secara berlebihan.