"Kita udah layanin orang begitu besar. Di kafir-kafirin, gue juga panas, ya dong? Waktu saya jadi wagub, waktu mau mindahkan Waduk Pluit, karena kalau naik 10 cm lagi, itu tembok laut jebol mati nih orang ribuan di dalam,"
"Makanya waktu banjir gue pindahin, gue pikir kasih baju, sampai celana dalam, BH semua gue beliin, sampai daster. Pokoknya lu tinggal bawa badan masuk dah. Waktu saya datang ke tempat pengungsian, saya bilang siapa yang mau pindah?"
"Saya kasih pengarahan ke mereka, saya yakinkan mereka, kalian akan dapat Kartu Jakarta Pintar, anak-anakmu dapat duit, naik bus gak bayar, saya cariin kerja di pelabuhan, saya siapin snack semua, saya udah kayak sales pakai toa ngomong ini. Diem semua, gak ada yang berani daftar,"
"Begitu saya jalan, ada suara teriak, 'Cina gak usah urusin kami! Kami urus sendiri!'. Langsung gue balik nih, gue nyari, 'mana yang ngomong?!'. Terus diem, beraninya keroyokan tahu gak!" kisahnya.
Sakit hati dengan perlakuan seperti itu, Ahok pun sudah berpikir akan bersikap bodo amat.
Malah ia berpikir akan membiarkan jika orang-orang di sana mati tenggelam.
Pasalnya, ujaran kebencian itu ternyata sudah berlangsung lama.