Namun, tak menutup kemungkinan pasien penyakit kronis lainnya juga sempat “sembuh” hanya beberapa saat sebelum meninggal.
Fenomena terminal lucidity setiap pasien pun bisa berbeda satu dan lain, bergantung pada penyakit mereka.
Dalam penelitiannya, Batthyany mengumpulkan kuesioner terhadap keluarga pasien yang pernah menjadi saksi terminal lucidity.
Hasilnya, dari 227 pasien dengan demensia yang diteliti, setidaknya 10 persen di antaranya pernah merasakan fenomena tersebut.
Mereka yang merasakan terminal lucidity, 84 persen meninggal dunia dalam waktu sepekan. Sementara 42 persen lainnya meninggal di hari yang sama.
Dari temuan Batthyany terungkap bahwa fungsi kognisi yang normal layaknya orang sehat bisa saja terjadi meskipun otak mengalami kerusakan.
Mengapa fenomena ini bisa terjadi?
Belum ada penjelasan ilmiah yang logis mengenai fenomena ini.
Namun, banyak orang yang memandangnya sebagai pengalaman spriritual dan mengkategorikannya sebagai fenomena akhir kehidupan.
"Meneliti terminal lucidity adalah proses yang sulit mengingat banyak tantangan teknis dan etika yang dihadirkannya," ucap Batthyany, dilansir dari Psychology Today.
Merangkum dari laman SehatQ, satu teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena ini adalah adanya fluktuasi fungsi kognitif.
Saat pasien menderita penyakit kronis, volume otak akan sedikit menyusut karena jaringan-jaringan otak semakin melemah dan menyusut.
Oleh karenanya, otak yang tadinya penuh tekanan jadi agak melonggar.
Hal ini diyakini bisa mengembalikan macam-macam fungsi otak yang telah rusak. Misalnya daya ingat dan kemampuan berbicara.
Kondisi saraf seseorang yang mengalami terminal lucidity tentu jauh lebih kompleks ketimbang anggapan konvensional bahwa fenomena ini adalah ‘ucapan perpisahan’ dari pasien untuk keluarganya.
Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguak fenomena ini, dikutip dari TribunManado.