"Dalam beberapa kasus, sebenarnya eksekusi tidak perlu terjadi. Tapi, eksekusi dilakukan biasanya karena unit (kendaraan) berada di pihak ketiga," ujar dia.
Ia bilang, dari eksekusi kendaraan yang dilakukan penagih utang, sebanyak 99 persen posisi unit kendaraan berada di orang ketiga.
Di sisi lain, Suwandi bilang, debitor dapat melakukan tindakan proaktif ketika merasa terlambat membayar cicilan.
Misalnya, debitor bisa mendatangi perusahaan pembiayaan dan mengajukan permohonan restrukturisasi atau rescheduling.
Ia juga meminta debitor melakukan dokumentasi ketika pengajuan restrukturisasi.
Hal ini berguna sebagai bukti ketika nanti ada penagih utang yang mendatangi debitor.
"Jadi bisa menunjukkan, ini saya sudah bicara lho, komunikasi," ungkap dia.
Selanjutnya, ketika debitor benar-benar tidak bisa meneruskan cicilan baik dengan restruturisasi kredit dan rescheduling, ada opsi untuk oper kredit.
"Silakan datang bersama orang yang mau oper kredit. Opsi ini diatur dalam Undang-undang Fidusia, dan boleh kalau perusahaan pembiayaannya setuju. Yang penting komunikasi, jangan kabur-kaburan," terang dia.
Dengan adanya oper kontrak secara resmi di perusahaan pembiayaan, debitor pertama tidak akan dikejar-kejar kembali oleh penagih utang.
Opsi lain untuk menghindari eksekusi penagih utang dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kendaraan ke perusahaan pembiayaan ketika sudah tidak mampu membayar angsuran dan tidak ada pihak yang akan oper kontrak.
Unit kendaraan tersebut dapat dijual atau dilelang bersama dan hasilnya lebihnya dapat kembali ke debitor.
Terakhir, Suwandi mewanti-wanti konsumen untuk tidak memberikan data yang palsu ketika mengajukan pembiayaan.
"Jangan melakukan pindah tangan kemana-mana dengan bermodalkan STNK. STNK bukan bukti kepemilikan kendaraan, nanti bisa kena pasal," ucap dia.