Misalnya, dengan menuliskannya di papan informatif sebelum pintu masuk.
"Dengan demikian konsumen memiliki pilihan untuk tetap melanjutkan transaksi atau tidak. Tanpa informasi awal, maka konsumen berhak menolak pungutan tersebut," ucapnya.
Fenomena lebaran surcharge sebenarnya sudah muncul sejak beberapa tahun terakhir.
Lebaran surcharge ini, kata Agus, seperti servis layanan yang dipungut ke konsumen pada peak season dan biasanya bersifat insidental.
"Di dunia transportasi lebih dulu ada istilah tuslag atau infal, yaitu kenaikan biaya tiket karena momen-momen tertentu, biasanya Hari Raya," kata Agus.
Lebaran surcharge juga ditemukan di negara lain, seperti Singapura, yaitu berupa imlek surcharge.
Sementara itu, pengurus harian YLKI Indah Suksmaningsih menyampaikan bahwa lebaran surcharge muncul di momen Idul Fitri karena banyaknya karyawan resto atau tempat makan yang mudik.
Hal tersebut memicu masalah karena permintaan jelang Hari Raya selalu meningkat sedangkan pelayanan menurun sehingga muncul lebaran surcharge yang seolah menjadi "bonus" untuk karyawan.
Namun, lebaran surcharge bisa menjadi jebakan apabila tidak diinformasikan terlebih dulu kepada konsumen.
Padahal besaran lebaran surcharge cukup tinggi, yakni sekitar 10 persen.
Oleh karena itu, Indah beranggapan bahwa peran Pemerintah Daerah untuk mengatur munculnya lebaran surcharge sangat dibutuhkan.
Baca Juga: Marak Penipuan Jelang Lebaran, Ini 5 Jenis Saldo yang Bisa Raib Dibobol
"Diperlukan ada Perda yang mengatakan ketika di hari-hari raya Lebaran yang tidak mudah untuk melayani itu boleh diperlakukan lebaran surcharge dengan persyaratan diberitahukan sebelum terjadinya transaksi," ujar Indah, saat dihubungi Kompas.com lewat sambungan telepon, Kamis.
Pasalnya, hingga saat ini belum ada aturan terkait lebaran surcharge jelang momen lebaran.
Baca Juga: Emak-emak jadi Sasaran Empuk! Ini Modus Operasi Pinjol Jelang Lebaran yang Harus Diwaspadai