“Ada peningkatan dibandingkan tahun lalu. Namun, jumlahnya tidak begitu jauh,” ujar dia.
Rupanya dalam Proses Perceraian Kasus perceraian meningkat saat new normal Menurut Asep, melonjaknya perkara perceraian bulan ini tidak terlepas dari kondisi pandemi Covid-19.
Pasalnya, selama masa pandemi di bulan lalu dan sebelumnya, PA Cianjur melakukan pembatasan pelayanan.
“Ditambah di bulan kemarin ada Ramadhan, sehingga pelayanan perkara lebih dibatasi. Sehari dibatasi hanya 20 perkara,” katanya.
Karena itu, memasuki era new normal atau adaptasi kebiasaan baru saat ini, perkara yang masuk ke PA Cianjur mengalami lonjakan drastis.
“Sehari kita bisa melayani 50 perkara. Namun, tentunya tetap dengan memerhatikan protokol kesehatan. Jumlah orang yang ada di dalam ruang sidang dibatasi,” ungkapnya.
Pemicu perceraian: ekonomi dan perselingkuhan
Adapun pemicu utama perceraian, disebutkan Asep, adalah faktor ekonomi keluarga.
“Terutama dari cerai gugat, berawal karena istri merasa nafkah yang dikasih suaminya kurang, tidak cukup, atau suaminya sama sekali tidak menafkahi. Bahkan, kelebihan harta juga bisa memicu perselingkuhan,” terang dia.
Selain ekonomi, faktor moralitas atau akhlak juga cukup tinggi menjadi penyebab gugatan cerai.
“Suami yang berselingkuh atau sebaliknya, dan beberapa kasus berujung pada terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Asep.
Dijelaskan, beberapa perkara yang ditanganinya, bibit perceraian dimulai saat istri memutuskan bekerja karena suami menganggur atau malas bekerja sehingga nafkah yang diberikan kepada istri dinilai kecil.
“Namun, seiring berjalannya waktu, sang istri merasa dieksploitasi tenaganya oleh suami. Sehingga memicu pertengkaran rumah tangga,” katanya.
Source | : | Tribun Jakarta |
Penulis | : | Lena Astari |
Editor | : | Lena Astari |
Komentar