Untuk data yang dilengkapi dengan kemampuan finansial nasabah maka harganya Rp20.000 sampai Rp50.000 per data.
Dari sebuah investigasi yang dilakukan oleh salah satu media masa nasional, seorang mafia data menjual 1.101 data nasabah dengan total harga Rp350.000 ke pihak investigasi, jadi untuk per data dihargai Rp318.
Dan inilah cara yang paling sering dilakukan oleh pinjol ilegal dalam mendapatkan data calon ‘korban’ karena mereka bisa membeli dengan harga murah dan aksesnya bisa ribuan bahkan jutaan data nasabah.
Hingga sekarang ini praktik jual beli data nggak hanya terbatas data pribadi tapi juga sudah merambah ke KTP.
Sudah jadi rahasia umum bahwa pinjol ilegal mengakses seluruh kontak dari peminjamnya.
Ini mereka lakukan sebagai database untuk menawarkan kembali ke calon ‘korban’ lainnya sekaligus cara meneror agar si peminjam mau melunasi utang.
Coba dibayangkan jika setiap peminjam diakses kontak teleponnya, ada ribuan hingga jutaan nomor telepon yang bisa mereka peroleh dari para peminjam.
Di tiap platform media sosial ada kolom bio yang sering digunakan untuk mengisi tentang deskripsi pengguna.
Sayangnya masih banyak yang mengisi kolom ini dengan nomor telepon.
Inilah yang menjadi celah bagi pinjol ilegal untuk mendapatkan nomor telepon calon ‘korban’.
Atau tak sedikit juga orang yang suka membagikan data pribadi seperti tangkapan layar dengan nomor telepon, info pendaftaran, info penawaran usaha, nomor telepon di flyer dan lain sebagainya.
Mencantumkan nomor telepon ini untuk keperluan usaha atau kepentingan pekerjaan memang hal yang umum, sayangnya sering digunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab dalam mengumpulkan data lalu menjualnya.
Berbagi data seperti nomor telepon di dunia digital (dengan catatan untuk keperluan penting) memang tidak bisa dihindari.
Namun, Anda bisa menghindari pinjol ilegal ini dengan memblokir nomornya juga mengabaikan segala bentuk penawarannya.
Penulis | : | Nindy Nurry Pangesti |
Editor | : | Nindy Nurry Pangesti |
Komentar