GridFame.id - Banjir jadi bencana alam yang selalu menghampiri ibukota.
Masalah ini pun sudah ada, bahkan sejak zaman belum secanggih sekarang.
Namun era gubernur sudah berganti, masalah itu tetap ada.
Menilik kisah masa lalu, sejak zaman Tarumanegara, kemudian saat bernama Jayakarta, Batavia, Jakurata, sampai Djakarta, banjir selalu menyapa.
Pemerintah pada zaman-zaman itu bukannya tidak melakukan usaha.
Namun, problematika banjir seperti belum ditemukan jalan penyelesaiannya.
Berikut cerita penanganan banjir Jakarta dari masa ke masa:
Abad ke V, Kerajaan Tarumanegara
Upaya penanganan banjir dilakukan Raja Tarumanegara, Purnawarman.
Dalam Prasasti Tugu dari abad V Masehi, disebutkan, saat itu wilayah yang kemudian hari bernama Jakarta itu sudah terjadi banjir.
Mengutip pemberitaan Kompas.com, 21 Februari 2017, Arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar mengungkapkan, Raja Purnawarman memerintahkan untuk pembuatan kanal dari Sungai Candrabagha (Kali Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Cakung).
Panjangnya mencapai 11 kilometer.
Baca Juga: Suaminya Pensiun dari TNI, Bella Saphira dan Kedua Anak Sambungnya Diboyong Tahun Baruan di Korea
Zaman Kolonial Belanda
Berabad-abad kemudian, pendatang asing mulai berdatangan.
Wilayah yang kemudian bernama Batavia itu juga masih mengalami banjir.
Dikutip dari arsip Harian Kompas, 14 Januari 1994, disebutkan bahwa Pemerintah kolonial Belanda membentuk Burgelijke Openbare Werken (BOW) pada 1854.
BOW merupakan cikal bakal Dinas Pekerjaan Umum (PU).
Namun, dinas tersebut sering dipelesetkan menjadi Batavia Onder Water atau 'Batavia di bawah air'. Pada 1911, ahli tata air Belanda, Ir H van Breen, membuat banjir kanal yang melintang dari timur ke barat.
Kemudian, membuat pintu air di Manggarai.
Selain itu, dibuat pula kali-kali sodetan di Krukut, Grogol.
Beberapa kawasan perumahan memang bebas banjir, tetapi di kapung-kampung masih juga tergenang.
Masa Soekarno
Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, Jakarta tetap belum merdeka dari banjir.
Bahkan, Presiden Soekarno sampai turun tangan. Soekarno membuat dinas khusus untuk mengatasi banjir pada 1965.
Namanya Komando Proyek Banjir (Kopro Banjir).
Namun, belum juga mampu membebaskan Ibu Kota dari banjir.
Orde Baru Pada 1972, pemerintah membentuk Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya.
Proyek ini meneruskan Kopro Banjir.
Rencananya, agar tiga sungai besar di Jakarta memiliki banjir kanal.
Tujuannya mencegat luapan air masuk kota.
Akan tetapi, rencana ini gagal terlaksana karena masalah pembebasan tanah.
Penyebabnya, sudah kadung banyak rumah dan kantor besar berdiri.
Selang 20 tahun kemudian, pemerintah kembali merancang Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Cisadane-Ciliwung (PWS-CC).
Tugasnya mengupayakan agar 40 persen wilayah Jakarta yang berada di bawah permukaan laut tidak semakin tergenang.
Pasca-reformasi
Tragedi banjir besar Jakarta pada Februari 2002 membuat 365.000 keluarga mengungsi.
Sebanyak 32 jiwa meninggal dunia.
Harian Kompas menuliskan, empat bulan berselang, delapan petinggi negara bertemu untuk membentuk Program Penanganan Banjir Jakarta.
Hadir dalam pertemuan tersebut Menteri Kimpraswil Soenarno, Mendagri Hari Sabarno, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, Menteri Negara PPN/Ketua Beppenas Kwik Kian Gie, Menteri Keuangan Boediono, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jabar R. Nuriana dan Gubernur Banten H. Djoko Munandar.
Program jangka panjang direncanakan, anggaran Rp 11 triliun disiagakan.
Namun, rencana itu menguap lantaran semua pihak sibuk menjelang Pemilihan Umum 2004.
Era Jokowi-Ahok
Sepuluh tahun kemudian, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, yang memimpin Ibu Kota pada 2012, melakukan upaya mengurangi dampak banjir.
Upaya itu di antaranya dengan pelebaran dan pengerukan kali, sungai, waduk, menggunakan alat berat.
Sementara, saat Ahok menggantikan Jokowi, dia menambahkan beberapa upaya penanganan.
Selain menyiagakan tanggul pencegah banjir, juga menyiagakan beberapa pompa untuk mengalirkan air sebelum banjir datang.
Dikutip dari data BPBD Jakarta, ada tren penurunan wilayah terdampak dan titik banjir dari 2014 hingga 2017.
Angka wilayah kelurahan terdampak pada 2014 sebanyak 132 kelurahan, kemudian berturut-turut pada 2015 (139 kelurahan); 2016 (117); 2017 (113), dan 2018 (63).
Sementara, titik banjir sebanyak 688 RW di 2014, sempat naik 702 di 2015, dan turun menjadi 460 di 2016, 375 RW di 2017, dan 217 di 2018.
Jumlah pengungsi pada 2014 (167.727 orang); 2015 (45.813 orang); 2016 (7.760 orang); 2017 (9100 orang), dan 2018 (15.627 orang).
Era Anies Baswedan
Kini di era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, banjir besar melanda Ibu Kota di hari pertama 2020, Rabu (1/1/2020).
Presiden Jokowi menyoroti mandeknya upaya normalisasi sungai sejak 2017 karena terhentinya pembebasan lahan di bantaran kali.
Normalisasi merupakan metode penyediaan alur sungai dengan kapasitas mencukupi untuk menyalurkan air, terutama saat curah hujan tinggi.
Salah satunya, dengan melakukan pengerukan untuk memperlebar dan memperdalam sungai.
Selain itu, pemasangan batu kali (dinding turap) untuk pengerasan dinding sungai, pembangunan sodetan, hingga pembangunan tanggul.
Sejak 2014, pemerintah pusat membantu Pemprov DKI dalam upaya normalisasi ini.
Saat mulai menjabat, Anies menggagas program naturalisasi.
Namun, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengaku tak mengetahui jelas program naturalisasi yang digagas Anies.
Dua kali undangan pertemuan tak pernah dihadiri mantan Mendikbud itu.
Kementerian PUPR berharap ada sinergi, jika memang program itu dijalankan.
Dari pemberitaan media, Kementerian PUPR memahami naturalisasi yang dimaksud Anies yaitu memasukkan air hujan yang turun dari langit ke dalam tanah, tak membuangnya ke laut.
Menurut Anies, program naturalisasi sudah dijalankan Pemprov DKI Jakarta.
Ia menjanjikan hasilnya akan terlihat pada akhir 2019.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Mengatasi Banjir Jakarta, dari Raja Purnawarman, Jokowi-Ahok, hingga Anies Baswedan