Find Us On Social Media :

Disangka Bisa Atasi Corona, Obat ini Justru Sudah Makan Banyak Korban Jiwa & Sempat Disebut Oleh Jokowi

Bukannya menyembuhkan, obat chloroquine ternyata banyak memakan korban pasien virus corona

GridFame.id - Jumlah terinfeksi virus corona semakin bertambah setiap harinya di dunia.

Hal ini tentu membuat para petugas medis semakin kewalahan ketika bertambahnya kasus kritis yang menumpuk di rumah sakit.

Dengan para peneliti dan ilmuwan berpacu dengan waktu membuat vaksin, obat-obat yang sudah ada banyak diuji coba untuk mengurangi rasa sakit pasien Covid-19.

Baca Juga: Ratapan Pilu Petugas Medis Minta Masyarakat Tunda Mudik: 'Bantu Kami, Kami Juga Ingin Bertemu Orang Tua'

Presiden Indonesia, Joko Widodo sendiri juga menggunakan Chloroquine sebagai obat tambahan.

Obat Hydroxychloroquin atau Klorokuin ini disebut akan digunakan sebagai obat kedua yang berarti tidak bisa menyembuhkan secara total.

Obat malaria itu sebelumnya juga telah digemborkan oleh Donald Trump sebagai obat virus corona di Amerika Serikat.

Namun dilansir dari Dailymail pada (22/4/2020), sekitar 28% dari 368 veteran militer Amerika Serikat yang positif virus corona dan diobati dengan Chloroquine meninggal dunia.

Sedangkan 11% veteran tersebut meninggal ketika mendapat perawatan standar, termasuk cairan IV dan intubasi untuk membantu mereka bernafas.

Donald Trump sempat memuji obat

Donald Trump sempat memuji obat itu sebagai 'pengubah keadaan' meskipun dokter dan ilmuwan memperingatkan bahwa belum ada bukti bahwa obat itu bisa mengobati covid19.

Baca Juga: Sedikit Melegakan, Ahli Pernapasan Ini Sebut Covid-19 Mungkin Miliki Efek Lebih Ringan Bagi Pasien yang Sudah Sembuh Dibanding Penyintas Sars, Tapi Perlu Waspada Ini!

Pada hari Selasa (21/4/2020), NIH (Kementerian Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat) memperingatkan penggunaan obat ini.

Obat itu dikombinasikan dengan azitromisin bisa beracun untuk pasien Covid-19.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa penelitian kepada veteran militer di AS terinfeksi virus corona menunjukkan bahwa Chloroquine tidak memberikan manfaat bagi pasien.

Studi nasional itu bukan eksperimen yang berskala besar namun menjadi pandangan awal tentang obat Chloroquine.

Studi ini masih terhitung baru, dan diunggah dalam sebuah situs online, dan belum ditinjau oleh ilmuwan lain.

Sementara itu, panel para ahli dari NIH juga mengeluarkan rekomendasi.

Baca Juga: Habis Rp 280 Juta Sekali Makan, Faktanya Menu Ini yang Bikin Jantung Kim Jong Un Loyo Hingga Badannya Melebar Drastis!

Bahwa penggunaan hydroxychloroquine/Chloroquine tidak direkomendasi dicampur dengan antibiotik dengan alasan kekhawatiran akan toksisitas.

Para peneliti menganalisis catatan medis dari 368 veteran pria yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi coronavirus yang dikonfirmasi di pusat medis Administrasi Kesehatan Veteran.

Sekitar 22 persen pasien tersebut juga mendapatkan obat azithromycin.

Tetapi perbedaan antara kelompok itu dan perawatan biasa tidak dianggap cukup besar untuk menyingkirkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup.

Para peneliti juga mengatakan tidak ada efek samping lain, tetapi mencatat ada petunjuk bahwa hydroxychloroquine mungkin telah merusak organ lain.

Obat ini telah lama diketahui memiliki potensi efek samping yang serius, termasuk detak jantung berdebar kencang hingga menyebabkan kematian mendadak.

Awal bulan ini, para ilmuwan di Brazil menghentikan sebagian dari penelitian yang menguji Chloroquine.

Baca Juga: Suaminya Gulung Tikar Akibat Pandemi Covid-19 hingga Tak Mampu Bayar Kontrakan, Ibu Hamil 9 Bulan Ini Terpaksa Tinggal di Pinggir Jalan

Penjelasan Ahli

"Saya pikir kita semua agak kurang yakin pada apa yang terlihat di antara beberapa pasien di sana yang telah meminum (Chloroquin)," kata Dr Nasia Safdar, dilansir dari Dailymail.

Pasien bertanya tentang obat itu setelah Donald Trump mulai mempromosikan penggunaannya.

"Tetapi sekarang saya berpikir bahwa orang telah menyadari, kita tidak tahu apakah itu berfungsi atau tidak dan perlu penelitian lebih lanjut," kata Safdar.

Baca Juga: Warga Perumahan Elite Ikut dapat Bantuan, Mensos: 'Saya Minta Masyarakat Juga Melakukan Kontrol'

Akhir-akhir ini, hydroxychloroquine dan remdesivir, obat yang awalnya dikembangkan untuk mengobati Ebola, telah ditarik ke garis depan untuk menangani pasien virus corona.

Remdesivir dianggap membantu memblokir kemampuan virus untuk mereplikasi diri.

Sementara hydroxychloroquine disebut masih diuji dan disebut mampu untuk membendung peradangan yang mengancam nyawa dengan 'badai sitokin.'

Badai sitokin sendiri dianggap sebagai penyebab sebagian besar kematian pasien terinfeksi virus corona.

Dilansir dari Kompas.com, pada prinsipnya, jika ada virus yang masuk ke dalam organ paru di tubuh, maka reaksi yang timbul adalah keluarnya sitokin-sitokin.

Untuk diketahui, sitokin adalah protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melakukan berbagai fungsi dan penting dalam penanda sinyal sel.

Baca Juga: Kabar Baik! Efek Dahsyat Tunda Mudik, Profesor Ini Sebut Pandemi Corona Bisa Berakhir Pada Bulan Ini!

Pelepasan atau keluarnya sitokin ini dapat mempengaruhi perilaku sel di sekitarnya.

Sitokin yang keluar dalam jumlah sedikit tidak memiliki pengaruh pada kondisi paru pasien, atau keadaan parunya tidak bermasalah.

Akan tetapi kalau jumlah sitokin yang dikeluarkan di paru sudah banyak, disebut sebagai badai sitokin, maka itu akan membuat paru sangat padat dan kaku.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunstyle.com dengan judul FATAL Pasien Virus Corona yang Diobati Chloroquine Lebih Banyak Meninggal Daripada Perawatan Standar