GridFame.id - Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sempat mengklaim laju kurva kasus Covid-19 di Indonesia, khususnya Jakarta, sudah melambat.
Benarkah seperti itu?
Ahli biostatistik Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, menyatakan kurva yang disampaikan pemerintah setiap harinya kepada publik bukanlah kurva epidemi yang sesuai standar ilmu, sehingga sulit untuk melihat perkembangan kasus yang sesungguhnya di dalam negeri.
Ia menjelaskan, kurva epidemi yang sesuai standar terdiri sumbu Y (vertikal) yang menunjukkan jumlah kasus baru, dan sumbu X (horisontal) yang mengindikasikan patokan waktu analisis yang terkait dengan jumlah kasus baru.
Seperti patokan tanggal orang terinfeksi, tanggal mulai bergejala, dan tanggal diperiksa.
Sementara pada kurva yang dimiliki pemerintah, sumbu X menunjukkan angka pertambahan kasus Covid-19 yang terlapor setiap harinya.
"Seharusnya bukan angka yang terlapor, karena bisa saja angkanya lebih besar namun test kit tidak mencukupi, atau angka yang dilaporkan hari itu berdasarkan kapasitas laboratorium," tutur Iqbal dalam diskusi online "Mengenal Kurva Epidemi Covid-19", Sabtu (10/5/2020).
Di samping itu, pemerintah China juga menunjukkan kurva epidemi khusus pada kasus yang positif Covid-19.
Terdiri dari sumbu Y jumlah kasus dan sumbu X dengan patokan tanggal mulai bergejala dan tanggal diagnosis.
"Jadi dari kurva ini bisa bercerita banyak, terlihat pola kenaikan dan turunnya (jumlah kasus baru), puncak wabah, juga bisa lihat yang positif, bergejala, hingga suspek," ujar Iqbal.
Sementara di Indonesia hanya menampilkan kurva harian kasus Covid-19.
Terdiri dari sumbu Y tentang jumlah kasus konfirmasi tambahan, sedangkan sumbu X adalah tanggal pelaporan kasus.
"Bukan tanggal mulai bergejala, atau tanggal periksa. Kurva ini tak sesuai standar ilmu epidemiologi," jelas Iqbal.
Padahal jumlah kasus konfirmasi tambahan tidaklah sama artinya dengan jumlah kasus baru.
Angka jumlah kasus harian yang dilaporkan tidak bisa menjelaskan laju infeksi harian pada hari sebelumnya.
Dengan kata lain, turunnya angka kasus harian itu tidak bisa langsung dibaca sebagai turunnya laju infeksi harian.
Menurut Iqbal, lamanya jarak waktu antara sampel diambil dengan hasil pemeriksaan dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada kurva kasus Covid-19 di dalam negeri.
Beberapa kasus menunjukkan, pasien harus menunggu hasil tes swab bisa mencapai 14-20 hari.
Lamanya pemeriksaan sampel ini bergantung pada ketersediaan alat dan bahan tes.
Jika tak tersedia maka pemeriksaan sampel yang diambil pada hari tersebut akan tertunda.
Hal ini sangat berpengaruh pada laju kurva Covid-19 setiap harinya.
Dengan demikian, laporan hasil dari lab tak berhubungan dengan frekuensi jumlah kasus baru yang sesungguhnya.
Ini tidak bisa jadi patokan bahwa laju infeksi harian sudah menurun hanya dengan data tersebut.
"Jadi bayangkan, kalau ini dilaporkan ke kita dan kita percaya adanya penurunan, padahal data ini hanya andalkan dari laporan lab covid kepada otoritas, yang juga tergantung pada alat dan bahan. Jadi ada dimensi lain yang perlu di perhatikan di Indonesia karena lamanya waktu pemeriksaan," paparnya.
Kondisi ini juga tercermin pada kasus Covid-19 di Jakarta yang disebut mendatar.
Jika melihat kurvanya terdapat catatan 486 kasus positif yang tidak memiliki tanggal lapor, data hingga 9 Mei 2020.
Jumlah ini 10 persen dari total kasus positif di Ibu Kota yang sebanyak 5.056 kasus.
Menurutnya, jika 486 kasus itu diletakkan pada grafik terakhir maka hasilnya menunjukkan peningkatan tajam.
Jika angka itu dibagi merata pada grafik setiap harinya, maka juga hasilnya tak mencerminkan situasi yang sebenarnya.
"Jadi hati-hati melihat kurva yang naik atau turun, harus dilihat dulu kelengkapan datanya, cara pelaporan, variabel yang digunakan," ujar Iqbal.
Menurut Iqbal, pemerintah juga tidak transparan mengenai jumlah pemeriksaan yang sudah dilakukan di setiap lab dan setiap daerah.
Intentitas pemeriksaan untuk mendekteksi orang yang positif juga terbilang rendah.
Padahal semakin banyak pemeriksaan terhadap orang yang berisiko tertular Covid-19, maka semakin baik kurva epidemi menjelaskan realitas yang sedang terjadi.
Salah satu contohnya adalah Vietnam, negara berkembang di Asia Tenggara yang sukses kendalikan penularan Covid-19.
Dari sekitar 8.000 orang yang diperiksa ditemukan 1 kasus positif.
Sedangkan Indonesia, dari 7 orang diperiksa, 1 kasus positif langsung ditemukan.
Artinya, klaim bahwa kasus baru telah turun di Vietnam lebih meyakinkan karena mereka telah berusaha keras mencari satu kasus positif saja.
Sedangkan di Indonesia, satu kasus positif ditemukan cukup dengan memeriksa 7 orang.
"Dengan kata lain, masih banyak orang yang terinfeksi tetapi belum diperiksa," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kurva Covid-19 di Indonesia Melandai, Apa yang Salah dari Datanya?