Salah satunya kondisi kesehatan pasien yang berangsur memburuk saat menjalani isolasi mandiri di rumah.
"Intinya mereka isoman yang awalnya ringan tapi tidak ada pendampingan, akhirnya perburukan, terus sepsis atau gagal nafas, dan meninggal dunia," ungkapnya pada Kompas.com, Rabu (7/7/2021).
Menurut Ginting, orang-orang yang terinfeksi bersembunyi di rumah, dan hanya mengurung diri dengan berbekal selembar hasil PCR atau Rapid test antigen.
"Mereka pikir dengan selembar hasil PCR dianggap sudah pengobatan," kata Alexander.
Tidak melapor
Penyebab lainnya menurut Ginting, orang-orang yang terinfeksi itu tidak ke puskesmas dan tidak melapor ke RT karena malu serta takut mendapat stigma yang berakibat tidak dapat obat paket Covid-19.
Alexander juga mengungkapkan penyebab lainnya, selama pandemi mereka yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid takut berobat ke RS sehingga obat tidak adekuat.
Kemudian, setelah beberapa hari isoman tanpa obat dan klinis perburukan gejala mereka tetap bertahan di rumah tanpa konsultasi ke fasyankes.
"Lalu saat sudah masuk Covid-19 fase 2 baru lapor tetangga, pesan ambulans dan saturasi sudah 90. Padahal 5 hari sebelumnya saturasi di atas 95," tuturnya.
Menurutnya para pasien isoman perlu adanya pendampingan, baik pendampingan langsung maupun telemedicine.