GridFame.id - Wuhan jadi kota pertama di dunia yang mengambil opsi lockdown setelah wabah virus corona dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru kota dan negara China.
Dibanyak media, terlihat betapa kosongnya kota Wuhan karena seluruh aktivitas warganya sudah dihentikan.
Warga Wuhan harus dikarantina di rumah masing-masing setelah pemerintah China menerapkan lockdown pada akhir Januari 2020.
Sebagian besar warga harus hidup dalam ketakutan akan kematian dan kesehatan mereka.
Namun kini setelah hampir dua bulan harus dikarantina, kasus Covid-19 di Wuhan terus berkurang, bahkan sempat tidak ada laporan kasus baru.
Otoritas setempat pun mencabut aturan lockdown dan masyarakat bisa menghirup udara bebas lagi.
Wong Yu (26), seorang guru di Wuhan, menceritakan pengalamannya kepada Guardian masuk kembali ke kehidupan normal, yang ternyata tidak mudah.
Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan sejak tanggal 23 Januari, ketika pemerintah menetapkan lockdown di Wuhan, kehidupan di negaraku berubah. Kami harus bertahan menghadapi epidemi, dikunci di rumah, dan menerima berbagai kabar buruk. Kami menghadapi rasa takut, cemas, dan kemarahan.
Setelah melalui berbagai musibah dan bencana sebelumnya, aku merasa sudah siap secara emosional. Tapi, tak ada orang yang bisa siap untuk ini. Selama dua bulan terakhir, terlalu banyak hal menakutkan yang terjadi. Aku dan semua warga Wuhan lain harus berusaha sebaik mungkin menghadapinya.
Banyak orang yang tetap memposting kehidupan sehari-hari mereka di media sosial. Aku rasa itu adalah salah satu cara untuk menghadapi masalah. Terkadang, berpura-pura sesuatu itu tidak ada adalah cara untuk melalui sebuah hal.
Kini setelah banyak pasien yang sembuh, lockdown di Wuhan perlahan dibuka. Tapi, tidak mudah untuk kembali dari kematian. Kehidupan kami sudah benar-benar berubah. Kembali pada kehidupan sebelumnya ternyata menghadapi tantangan tersendiri.
Aku pertama kali keluar rumah setelah kebijakan lockdown dicabut pada 29 Maret. Itu adalah musim semi yang dingin. Namun, jika dibandingkan dengan suhu minus 10 derajat celcius saat musim dingin, cuaca di musim semi ini terasa enak.
Di sekitar rumahku, biasanya ada tim medis yang sementara menginap di hotel. Aku tidak tahu apakah mereka masih di sana atau tidak.
Di jalanan, aku melihat beberapa orang berjalan kaki atau bersepeda untuk bekerja. Terkadang ada bis yang lewat. Beberapa jadwal metro (kereta) sudah dibuka walau belum normal. Orang-orang mengeluhkan pemeriksaan yang ketat sebelum naik metro, tetapi kami sudah terbiasa.
Setiap hari, ada orang yang berusaha keluar dari rumahnya. Setelah kebijakan lockdown perlahan dibuka, banyak orang yang sudah tidak sabar. Ada yang langsung jalan-jalan ke danau, mereka memotret banyak hal.
Ada yang memposting foto di McDonalds atau Starbucks walau hanya membeli untuk dibawa pulang. Mereka semua gembira dan menganggap ini adalah awal menuju kehidupan normal kami.
Kebingungan
Berakhirnya lockdown tidak cuma membawa kegembiraan. Beberapa orang merasa ada pertentangan dalam diri, termasuk aku. Setelah hanya di rumah saja selama dua bulan, aku sudah terbiasa mengajar murid secara online, untuk keluar rumah sesekali saja untuk belanja, atau keheningan di luar jendela.
Melangkah keluar, melihat kota kembali normal, mendengar suara bising lagi, terasa aneh. Sebagian teman juga merasakan hal yang sama.
Di satu sisi mereka ingin kembali ke kehidupan normal. Di lain pihak, sangat sulit untuk kembali secara mendadak setelah kami bisa beradaptasi dengan kehidupan karantina.
Selama wabah, kami diijinkan keluar untuk ke rumah sakit setiap 10 hari sekali untuk membawakan makanan bagi nenek yang dirawat karena stroke. Ketika puncak epidemi, kami selalu melihat ambulans masuk ke IGD, petugas medis dalam pakaian hazmat yang siaga. Kami juga sering melihat anggota keluarga sedang menangis.
Pada tanggal 29 Maret, rumah sakit seolah sepi. Hanya ada satu ambulans yang terparkir di luar. Tidak ada lagi anggota keluarga yang gelisah menunggu di luar. Di luar kamar perawatan nenekku, dua atau tiga tenaga medis berjalan dengan santai, tak ada ketergesaan.
Dalam perjalanan pulang, aku tidak melihat banyak orang di luar, tapi jalanan padat oleh mobil. Taman-taman kota masih terbengkalai, rumput dibiarkan tumbuh tinggi. Tetapi, beberapa orang tetap duduk di sana, tak peduli dengan udara dingin.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Adaptasi Warga Wuhan Jalani Hidup Normal Setelah Dua Bulan Lockdown
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Lena Astari |
Editor | : | Lena Astari |
Komentar