GridFame.id - Beberapa waktu terakhir, tanah air dihebohkan dengan kasus seorang guru di pesantren memperkosa 13 santrinya.
Berita ini sontak menghebohkan jagat maya dan menyita perhatian publik.
Bagaimana tidak, guru tersebut memperkosa 13 santrinya hingga mengandung.
Dikabarkan, setidaknya sudah ada 8 bayi yang dilahirkan akibat perbuatan guru pondok pesantren tersebut.
Tak sampai situ saja, guru tersebut juga memanfaatkan korban sebagai kuli bangunan serta mengeksploitasi para santri.
Bayi hasil perbuatan keji itupun disebut-sebut dimanfaatkan untuk meminta donasi.
Tak pelak hal ini membuat sederet tokoh ternama ikut buka suara dan mengecam perilaku bejat sang guru pesantren.
Bahkan ibu negara Iriana Joko Widodo pun dengan tegas meminta kasus ini diusut hingga tuntas dan korban mendapat keadilan.
Tak ada lagi yang mampu meringankan sang guru, jaksa menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati.
Baca Juga: Hancur Hati, Tengah Hamil Tua Tahu Suami Perkosa Sepupu Sendiri istri Herry Wirawan Trauma! Fakta Baru Kejahatan Luar Biasa Guru Pesantren Rudapksa Para Santri Terungkap
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat Asep N Mulyana menyebut bahwa kejahatan Herry Wirawan yang memperkosa 13 santriwati di Bandung merupakan kejahatan sangat serius atau the most serious crime.
Hal tersebut diungkapkannya usai persidangan Herry Wirawan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa (11/1/2022).
"Kami menyimpulkan perbuatan terdakwa sebagai kejahatan sangat serius. The most serious crime," ucap Asep.
Seperti diketahui, Herry dihadirkan dalam sidang kali ini untuk mendengarkan tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Alhamdulillah siang hari ini kami telah membacakan tuntutan pidana kami yang tebalnya lebih dari 300 halaman tapi kami tidak bacakan semua mengingat efisiensi waktu," kata Asep.
Dari tuntutan yang dibacakan tersebut, JPU menyimpulkan bahwa perbuatan Herry terhadap 13 santriwati merupakan kejahatan yang sangat serius
Pertimbangan Jaksa
Menurut Asep, ada beberapa argumentasi dan pertimbangan yang melatarbelakangi kesimpulan Jaksa.
Pertama, Jaksa mengacu pada konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menentang penyiksaan hukuman yang tidak manusiawi.
"Perbuatan terdakwa masuk kategori kekerasan seksual," ucap Asep.
Kedua, kata Asep, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa sebagai pendiri, pengasuh, dan sekaligus pemilik pondok pesantren, kepada anak didiknya berada dalam kondisi tidak berdaya dan tertekan.
"Ketiga kekerasan terdakwa berpotensi merusak kesehatan anak terutama karena di bawah usia 17 tahun. Data menunjukkan, bukan hanya membahayakan kesehatan anak perempuan yang hamil di usia dini, tapi beresiko menularkan penyakit HIV, Kanker Serviks dan meningkatkan angka morbiditas," ucap Asep.
Keempat, perbuatan terdakwa berpengaruh pada psikologis dan emosional anak secara keseluruhan.
"Kelima, kekerasan seksual oleh terdakwa terus menerus dan sistematik. Bagaimana mulai merencanakan, mempengaruhi anak-anak mengikuti nafsu seks terdakwa dan tidak mengenal waktu, pagi, siang, sore, bahkan malam," lanjutnya.
Keenam, Asep mengatakan bahwa Jaksa juga memiliki alasan pemberatan tuntutan terhadap terdakwa yang menggunakan simbol agama untuk melancarkan kejahatannya.
"Alasan pemberatan, memakai simbol agama pendidikan untuk memanipulasi dan menjadikan alat justifikasi bagi terdakwa untuk melakukan niat jahat dan melakukan kejahatan ini yang membuat anak terpedaya karena manipulasi agama dan pendidikan," ucapnya.
Ketujuh, perbuatan terdakwa juga dinilai menimbulkan dampak keresahan sosial yang luar biasa.
"Terakhir, perbuatan terdakwa berpotensi menimbulkan korban ganda menjadi korban kekerasan seksual dan korban ekonomi fisik yang menimbulkan dampak sosial berbagai aspek," katanya.
Atas dasar pertimbangan ini, JPU menuntut terdakwa dengan hukuman mati, dan meminta tambahan hukuman berupa tindakan kebiri hingga mengumumkan identitas terdakwa.
Minta ganti rugi korban
Tak hanya itu, Jaksa juga meminta hakim menjatuhkan hukuman pidana dengan denda Rp 500 juta, subsider satu tahun kurungan dan mewajibkan terdakwa membayar restitusi atau ganti rugi kepada korban sebesar Rp 331.527.186.
Jaksa pun meminta hakim membekukan, mencabut dan membubarkan yayasan yang dikelola terdakwa.
Selain itu, merampas harta kekayaan, baik tanah dan bangunan terdakwa yang sudah atau pun belum disita untuk dilelang dan diserahkan ke negara melalui Pemerintah Provinsi Jabar.
"Selanjutnya digunakan untuk biaya sekolah anak-anak dan bayi-bayi serta kelangsungan hidup mereka (korban),
Kami juga meminta merampas barang bukti sepeda motor terdakwa dilelang, hasilnya diserahkan ke negara untuk keberlangsungan hidup korban dan anak anaknya," ucap Asep.
Menurut Asep, hal tersebut dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku atau pihak lain yang memiliki niat dan akan melakukan kejahatan serupa.
Tuntutan hukuman tersebut sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.
Artikel Ini Telah Tayang Sebelumnya di Kompas.com dengan Judul "Ini Alasan Jaksa Tuntut Herry Wirawan dengan Hukuman Mati"
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Nindy Nurry Pangesti |
Editor | : | Nindy Nurry Pangesti |
Komentar