Hal ini tentu membuat bulan spiritual tidak dimanfaatkan dengan maksimal karena kesempatan untuk beribadah dan renungan berkurang atau malah hilang sama sekali, artinya bulan Suro ini sebaiknya dimanfaatkan untuk memaknai hidup dan tidak mengutamakan keduniawian.
Masyarakat dianjurkan untuk beribadah, merenung, dan beristirahat dari hingar bingar dunia, hal ini juga menjadi langkah awal yang baik untuk menyambut tahun baru sebab, dalam kalender Jawa, bulan Suro adalah bulan pertama.
Begitu juga dengan kalender Hijriah, dimana bulan Suro atau Muharram adalah bulan di awal tahun.
Apa kata pengamat?
Melansir Tribun Travel, pengamat budaya Jawa, Han Gagas, mengatakan pantangan menikah di bulan Suro bisa pula dikaitkan dari segi sosial dan ekonomi.
Baca Juga: Ini Arti Jangkrik Masuk ke dalam Rumah, Ternyata Bisa Membawa Keberuntungan, Tak Disangka!
"Orang Jawa perlu 'let' (jeda), termasuk kondisi keuangan. Jika terlalu banyak hajatan yang kudu nyumbang (memberi sumbangan), nanti kasihan bisa buat banyak yang marah atau terlalu ngoyo kerja buat nyumbang, itu bisa buat aura negatif. Ini versi yang modern dan condong ke manajemen uang," tambahnya.
Masyarakat Jawa memang bisa menggelar pesta pernikahan sepanjang tahun, kecuali di bulan Suro sehingga terdapat rehat atau jeda sejenak dari biaya hajatan, tidak hanya dari pihak penyelenggara, tetapi juga bagi orang yang menghadiri hajatan.
Jika tak ada rehat dalam satu bulan, bisa dipastikan sepanjang tahun masyarakat akan mengadakan atau menghadiri hajatan sehingga perlu kerja yang lebih keras untuk memenuhi pengeluaran tersebut.
Seringnya frekuensi gelaran pernikahan bisa membuat orang sebal karena menghadiri hajatan pernikahan atau hajatan lain yang tak ada hentinya jadi, jika ada jeda selama satu bulan, pengeluaran pun ikut 'beristirahat' dan uang yang ada bisa disimpan.
Saat semua hal itu dilakukan akan masuk dalam kearifan lokal yang akan memunculkan toleransi, meningkatkan spiritual, atau lebih memahami keadaan sekitar, bahkan dalam Islam, ada sunah untuk berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram (Suro).
Hal ini mengindikasikan, kita bisa mengambil hikmah dari puasa dengan merenung dan mengekang diri dari hawa nafsu, bukannya membuat hajatan pesta.
Selain itu dengan berpuasa, kita juga dapat belajar untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan.
Mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat tentang pantangan hajatan di bulan Suro, semuanya memiliki tujuan yang baik.
Ibadah puasa itu juga merupakan reflesi ibadah yang bagus dilakukan untuk meningkatkan spiritual kita di bulan Suro.
Artikel Ini Telah Tayang Sebelumnya di TribunBatam.id dengan Judul "Benarkah Pantang Menikah di Bulan Muharram atau Suro dalam Kepercayaan Jawa?"
Source | : | TribunBatam.id |
Penulis | : | Nindy Nurry Pangesti |
Editor | : | Nindy Nurry Pangesti |
Komentar