GridFame.id - Banyak orang penasaran dengan arti mitos menaikah di bulan suro.
Menikah di bukan suro sejak dulu bak menjadi momok bagi masyarakat Indonesia.
Banyak mitos buruk soal menikah di bulan suro yang membuat bergidik.
Mulai dari membawa malapetaka hingga dikaitkan dengan kematian.
Tak heran jika para calon penganti pun bergidik ngeri jika tahu mitos ini.
Seperti diketahui, ada banyak mitos yang dipercaya masyakarat Indonesia.
Apalagi orang Jawa yang kental akan tradisi dan tata adat yang dipegang teguh sampai saat ini.
Daripada salah kaprah mennetukan hari bahagia Anda, simak di sini arti mitos menikah di bulan suro.
Tolong ingatkan keluarga untuk tidak semborono.
Dalam kepercayaan Jawa, menikah tak boleh dilakukan di bulan Muharram atau Suro, meski tak semua orang mengikuti, kepercayaan leluhur ini telah dipegang sebagian masyarakat Jawa sejak dahulu.
Sebelum melangsungkan pernikahan, para tetua lebih memilih untuk menghindari bulan Suro, hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal buruk yang bisa saja terjadii, sebab bulan Suro terkenal keramat.
Menggelar pernikahan di bulan Suro, dipercaya bisa membawa malapetaka dalam rumah tangga, bukan cuma pernikahan, berbagai hajatan pun biasanya tak boleh dilakukan di bulan ini.
Tak heran, menjelang akhir bulan Dzulkahijjah atau Dzulhijjah, masyarakat Jawa buru-buru menggelar hajatan pernikahan sebelum memasuki bulan Suro.
Lantas, mengapa kepercayaan ini muncul? Apa alasan pantangan ini?
Pernikahan bulan Suro
Sebagian masyarakat Jawa percaya, menikah di bulan Suro bisa mendatangkan nasib buruk bagi pengantin, kepercayaan muncul sejak zaman Hindu Mataram.
Pada bulan Suro, Batara Kala sedang berkuasa, adapun Batara Kala sang penguasa Suro juga merupakan penguasa waktu yang menjalankan hukum karma atau sebab akibat.
Dewa ini dipercaya suka memakan manusia,artinya, mereka memakan nasib baik yang dimiliki manusia, sehingga hanya tersisa nasib buruknya untuk itu, segala hal yang berkaitan dengan bulan Suro sebaiknya dihindari agar auranya tetap baik jika melanggar, dikhawatirkan nasib buruk akan datang.
Selain pernikahan, beragam hajatan juga sebaiknya tak digelar di bulan ini. beberapa di antaranya seperti sunatan, membangun rumah, hingga pindah rumah.
Bagi pasangan yang tetap ingin menikah di bulan ini, sebaiknya ijab kabul dilakukan sebelum memasuki bulan Suro sementara pesta resepsi masih bisa digelar di bulan ini.
Di sisi lain, menurut kepercayaan Hindu, bulan Suro adalah bulan untuk merenung, pada bulan ini, masyarakat meningkatkan kemampuan spiritualnya, mereka membersihkan jiwa dari sifat buruk, nafsu, angkara, dan hal-hal lain yang sifatnya negatif.
Refleksi renungan ini lebih baik dilakukan, ketimbang menggelar hajat yang sifatnya mengeluarkan banyak uang sementara itu, menggelar pernikahan atau jenis hajatan lainnya hanya akan mendorong seseorang mengeluarkan biaya yang banyak.
Hal ini tentu membuat bulan spiritual tidak dimanfaatkan dengan maksimal karena kesempatan untuk beribadah dan renungan berkurang atau malah hilang sama sekali, artinya bulan Suro ini sebaiknya dimanfaatkan untuk memaknai hidup dan tidak mengutamakan keduniawian.
Masyarakat dianjurkan untuk beribadah, merenung, dan beristirahat dari hingar bingar dunia, hal ini juga menjadi langkah awal yang baik untuk menyambut tahun baru sebab, dalam kalender Jawa, bulan Suro adalah bulan pertama.
Begitu juga dengan kalender Hijriah, dimana bulan Suro atau Muharram adalah bulan di awal tahun.
Apa kata pengamat?
Melansir Tribun Travel, pengamat budaya Jawa, Han Gagas, mengatakan pantangan menikah di bulan Suro bisa pula dikaitkan dari segi sosial dan ekonomi.
Baca Juga: Ini Arti Jangkrik Masuk ke dalam Rumah, Ternyata Bisa Membawa Keberuntungan, Tak Disangka!
"Orang Jawa perlu 'let' (jeda), termasuk kondisi keuangan. Jika terlalu banyak hajatan yang kudu nyumbang (memberi sumbangan), nanti kasihan bisa buat banyak yang marah atau terlalu ngoyo kerja buat nyumbang, itu bisa buat aura negatif. Ini versi yang modern dan condong ke manajemen uang," tambahnya.
Masyarakat Jawa memang bisa menggelar pesta pernikahan sepanjang tahun, kecuali di bulan Suro sehingga terdapat rehat atau jeda sejenak dari biaya hajatan, tidak hanya dari pihak penyelenggara, tetapi juga bagi orang yang menghadiri hajatan.
Jika tak ada rehat dalam satu bulan, bisa dipastikan sepanjang tahun masyarakat akan mengadakan atau menghadiri hajatan sehingga perlu kerja yang lebih keras untuk memenuhi pengeluaran tersebut.
Seringnya frekuensi gelaran pernikahan bisa membuat orang sebal karena menghadiri hajatan pernikahan atau hajatan lain yang tak ada hentinya jadi, jika ada jeda selama satu bulan, pengeluaran pun ikut 'beristirahat' dan uang yang ada bisa disimpan.
Saat semua hal itu dilakukan akan masuk dalam kearifan lokal yang akan memunculkan toleransi, meningkatkan spiritual, atau lebih memahami keadaan sekitar, bahkan dalam Islam, ada sunah untuk berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram (Suro).
Hal ini mengindikasikan, kita bisa mengambil hikmah dari puasa dengan merenung dan mengekang diri dari hawa nafsu, bukannya membuat hajatan pesta.
Selain itu dengan berpuasa, kita juga dapat belajar untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan.
Mengenai perbedaan pendapat di kalangan masyarakat tentang pantangan hajatan di bulan Suro, semuanya memiliki tujuan yang baik.
Ibadah puasa itu juga merupakan reflesi ibadah yang bagus dilakukan untuk meningkatkan spiritual kita di bulan Suro.
Artikel Ini Telah Tayang Sebelumnya di TribunBatam.id dengan Judul "Benarkah Pantang Menikah di Bulan Muharram atau Suro dalam Kepercayaan Jawa?"
Source | : | TribunBatam.id |
Penulis | : | Nindy Nurry Pangesti |
Editor | : | Nindy Nurry Pangesti |
Komentar