Dalam mazhab Syafi'i hukum menelan ingus saat sedang berpuasa adalah tergantung kondisi yang mengiringinya.
Ketika ingus sudah sampai di bagian luar dan bisa untuk dimuntahkan tapi tidak dimuntahkan dan justru ditelan, maka puasanya batal.
Namun jika ingus berada di bagian luar tapi tidak mampu untuk dikeluarkan, misalkan karena terlalu cepat turun kembali ke bagian dalam (jauf/rongga) atau tertelan tanpa sengaja maka puasanya tidak batal.
Hal tersebut berdasarkan penjelasan dalam kitab Kifayah al-Akhyar.
ولو نزلت نخامة من رأسه وصارت فوق الحلقوم نظر إن لم يقدر على إخراجها ثم نزلت إلى الجوف لم يفطر وإن قدر
على إخراجها وتركها حتى نزلت بنفسها أفطر أيضا لتقصيره
Artinya: “Ketika ingus turun dari kepala dan berada di bagian atas tenggorokan maka hukumnya diperinci, jika seseorang yang puasa tidak mampu mengeluarkannya (Jawa: melepeh) lalu ingus itu turun kembali menuju bagian dalam (jauf) maka puasanya tidak batal, namun jika mampu untuk mengeluarkannya dan ia meninggalkan hal tersebut sampai ingus itu dengan sendirinya turun (Menuju bagian dalam) maka puasanya dihukumi batal, karena ia dianggap ceroboh (karena tidak mengeluarkan ingus)” (Syekh Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, juz 1, hal. 205).
Namun ada perbedaan dari para ulama terkait hukum mengeluarkan ingus dari bagian dalam menuju bagian luar dengan sengaja lalu segera membuangnya.
Menurut pendapat yang kuat hal ini tidak membatalkan puasa.
Karena hal tersebut sering dialami oleh sebagian besar orang yang sedang berpuasa.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut dianggap seperti mengeluarkan muntahan, jadi dapat membatalkan puasa.
Penulis | : | Ayudya Winessa |
Editor | : | Ayudya Winessa |
Komentar