Kategori kedua, adalah yang berhutang untuk kemaslahatan misalnya seperti yayasan yatim piatu, pesantren, sekolah non profit, dsb.
Imam Nawawi juga menyampaikan orang yang membantu jalannya rekonsiliasi pasca konflik sama halnya dengan kategori ini.
Para ulama dalam kasus tertentu memiliki perbedaan pendapat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa jika hutang yang dimiliki dan sudah jatuh tempo namun dilakukan dalam rangka maksiat, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan zakat.
Hal ini karena kemaksiatan tentu bukan bagian dari dari Islam.
Dari apa yang disampaikan Al-Mawardi, ada beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut.
Zakat tidak boleh diberikan pada orang yang menggunakan hutang untuk bermaksiat, karena khawatir akan digunakan kembali untuk maksiat.
Mereka tetap berhak, karena hutang harus ditunaikan. Perbuatan maksiatnya harus diputuskan dengan hukum dan harus bertaubat.
Jika memang telah bertaubat dan keluar dari kemaksiatan dan berkomitmen untuk berubah maka diperbolehkan jika tidak maka haram hukumnya diberikan kepada orang tersebut
Dari sini saja kita bisa melihat bahwa fungsi zakat sangat besar kaitannya dengan sosial dan kestabilan ekonomi di tengah-tengah masyarakat.
Untuk itu, wajib hukumnya bagi umat Islam yang sudah masuk hartanya pada nishab harus berzakat.
Penulis | : | Lena Astari |
Editor | : | Lena Astari |
Komentar