Find Us On Social Media :

Pantas Angka Kematian Corona di Eropa & AS Lebih Banyak, Beruntungnya Kita Jadi Orang Asia Karena Punya Kelebihan Tak Terduga Ini

Mayat-mayat di Guayaquil, Ekuador dibiarkan tergeletak di Jalanan.

GridFame.id - Kenapa korban kematian akibat virus corona lebih banyak ditemukan di Eropa dan Amerika Utara?

Pertanyaan itu masih menjadi misteri dari pandemi Covid-19 yang terjadi di dunia kini.

Kebijakan pengujian, berbagai metode perhitungan dan juga pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkapkan kasus Covid-19 di dunia pun menarik perhatian para peneliti untuk memecahkan kasus virus corona.

Baca Juga: Ajaib Banget! Berhari-hari Wonogiri Tak Ada Kasus Baru Covid-19, Padahal Bupatinya Hanya Sarankan Ini Bagi Warganya!

Sebagian wilayah di Asia diketahui lebih cepat menangani kasus Covid-19 dengan menerapkan social distancing pada awal pandemi.

Namun, beberapa peneliti juga memikirkan faktor lain yang membuat Asia lebih maju dalam menangani kasus corona ketimbang negara-negara di Eropa dan AS.

Alasan lain yakni karena faktor genetik dan respon sistem imun, pemisahan jenis virus dan tingkat obesitas di daerah yang berbeda dan dan faktor kesehatan yang umum terjadi.

Perbedaan angka kematian

China, tempat pertama virus corona ditemukan pertama kali di Wuhan, mencatat adanya kematian di bawah angka 5000 kasus.

Yang artinya, hanya ada tiga kematian per satu juta penduduk.

Sedangkan Jepang terdapat 7 kematian per satu juta penduduk, Pakistan 6, Korea Selatan dan Indonesia 5, India 3, dan Thailand kurang dari satu kasus kematian per satu juta penduduknya.

Baca Juga: Virus Paling Mematikan Ebola Muncul Lagi, Mbah Mijan Sindir Tentang Karma: 'Camkan, Allah Akan Turunkan Bala!'

Bahkan, Vietnam, Kamboja, dan Mongolia mencatat nol kasus kematian yang terjadi akibat pandemi Covid-19.

Jika angka tersebut dibandingkan dengan yang ada Jerman, kasus di sana mencatat adanya 100 kematian per satu juta penduduk.

Sekitar 180 di Kanada, 300 di Amerika Serikat, dan lebih dari 500 kasus di Inggris, Italia, dan Spanyol.

Pakar ilmiah dari Universitas Chiba Jepang menempatkan beberapa kasus virus corona di seluruh dunia dan mendapati perbedaan yang mencolok di beberapa regional.

"Itu berarti kita perlu mempertimbangkan perbedaan daerah regional terlebih dahulu, sebelum kita analisa kebijakan dan faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi di beberapa negara terdampak," kata Akihiro Hisaka dari Pascasarjana Ilmu Farmasi Universitas Chiba.

Asumsi dasar yang terjadi yakni virus, SARS-CoV-2, bermutasi sebagaimana yang virus lakukan kemudian menginfeksi dan menular.

Baca Juga: Harapan Baru Untuk Indonesia! Terima Bantuan Obat Corona dari China, Gubernur Maluku: 'Sudah Berhasil Menyembuhkan!'

"Kita sedang menghadapi momok yang sama dengan respon imun yang sama," kata Jeffrey Shaman, seorang epidemiologi dari Universitas Columbia.

"Ada perbedaan di pengetesan virus, laporan, dan kontrol di tiap-tiap negara. Dan ada juga perbedaan dari tingkat hipertensi, penyakit paru-paru yang parah, dan lain-lain, sesuai dengan yang terjadi di negara terdampak," lanjutnya.

Alasan angka kematian tinggi di Eropa dan US

Sebagian alasan kenapa angka kematian cukup tinggi di AS dan Eropa karena perbedaan cara menghadapi pandemi dan cara penanganannya.

Di Asia, dari pengalaman pandemi SARS dan MERS menyebabkan penanganan dan respon terhadap ancaman pandemi baru lebih cepat.

Taiwan, misalnya, telah banyak dipuji karena respons cepatnya terhadap Covid-19, termasuk pembatasan masuknya warga Wuhan sebelum virus itu meledak di China.

Baca Juga: Belum Usai Bergelut dengan Virus Corona Merajalela di Dunia, WHO Umumkan Wabah Virus Ebola Baru Kembali Muncul

Di Korea Selatan, pemerintah telah melakukan pengunjian dengan skala besar, pelacakan, dan isolasi pasien.

Walaupun di Jepang dan India, tingkat angka kematian cenderung rendah, hal ini juga membingungkan para ilmuwan.

Apakah cuaca dan budaya berpengaruh terhadap tingkat kematian?

Cuaca panas dan lembab mungkin bisa menjadi faktor penentu di negara seperti Kamboja, Vietnam, dan Singapura.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa panas dan kelembaban dapat memperlambat penyebaran virus, meskipun memang tidak menghentikannya.

Seperti saat seseorang terkena influenza dan dengan virus corona yang muncul gejala menggigil.

Namun, beberapa negara khatulistiwa termasuk Ekuador dan Brazil, telah melihat banyak kasus dan kematian terkait virus corona.

Demografi juga berperan dalam kesenjangan regional.

Populasi Afrika dengan lebih banyak anak muda mungkin lebih kebal dari pada populasi lansia di Italia.

Di Jepang, negara yang memiliki populasi tertua di dunia, juga sedang sedang dieksplorasi alasannya terkait dengan kematian yang rendah.

Ada kepercayaan yang meluas bahwa di Jepang kebersihan dan kebiasaan yang baik menjadi pengaruh.

Baca Juga: Kabar Gembira! Dokter Paling Top di Italia Sebut Virus Corona Telah Kehilangan Potensinya dan Melemah Karena Lihat Hal Ini!

Faktor gen dan sistem imun

Peraih Nobel Tasuku Honjo, seorang ilmuwan dan ahli imun dari Jepang mengatakan bahwa orang keturunan Asia dan Eropa memiliki perbedaan besar dalam haplotipe antigen leukosit (HLA), sebuah gen yang mengendalikan respons sistem kekebalan tubuh terhadap virus.

Hal tersebut bisa menjadi pemicu mengapa di Asia angka kematian lebih rendah, namun tetap tidak bisa dijadikan satu-satunya alasan.

Tatsuhiko Kodama dari Tokyo University menjelaskan studi awal menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh orang Jepang cenderung bereaksi terhadap virus corona, seolah-olah mereka telah terinfeksi virus itu sebelumnya.

"Teka-teki angka kematian lebih rendah di Asia Timur dapat dijelaskan dengan adanya kekebalan," kata dia.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews Wiki dengan judul Mengapa Angka Kematian Covid-19 Lebih Tinggi di AS dan Eropa Ketimbang di Asia? Ini Alasannya