Berikut isi surat Ridwan Kamil sebagai persembahan terakhirnya untuk Eril:
"Izinkan saya menyampaikan sepenggal rasa cinta, siapa itu Eril dan apa hikmah dari kepergian Eril. 14 hari bisa terasa pendek dalam hidup rutin yang sehari-hari, tapi 14 hari ini menjadi begitu panjang dalam kehidupan kami.
Kami bertanya-tanya mengapa harus selama ini ya Allah, mengapa tidak lebih cepat agar semua lekas berlalu, supaya kami yang hidup tidak terlalu lama mengharu biru, tapi waktu adalah rahasia Allah yang mustahil bisa dipecahkan apalagi menyangkut tentang kelahiran dan kematian.
Waktu adalah relatif, begitulah kata orang orang yang arif, dan akhirnya kami menerimanya dengan hati yang lapang, sebab kami bisa menemukan banyak sekali petunjuk yang terang.
Dalam rentang 14 hari yang sejujurnya sangat melelahkan, namun kami pun mendapat banyak pelajaran dan menerima kearifan. Tentang hidup Eril yang secara kasat mata rasanya terlalu singkat, tapi setelah dicermati ternyata kehidupannya sangat padat penuh manfaat.
23 tahun mungkin belum cukup untuk menghasilkan karya-karya yang besar, namun terbukti ternyata memadai untuk menjadi manusia yang dicintai dengan akbar. Kami belajar tentang hidup yang tidak semata terdiri atas lamanya hari, tapi tentang tiap hela napas yang dipakai berbuat baik walau kecil dalam sehari-hari.
Bukankah tiap sejengkal tanah adalah milik Allah yang menentukan segala pergi dan pulang," tutur Ridwan Kamil.
Ridwan Kamil dengan tegar mengatakan dirinya dan keluarga sudah mengikhlaskan kepergian Eril meski dengan hati yang hancur.
"Kami mengikhlaskan Eril pergi karena kami akhirnya menyadari bahwa Allah telah mencukupkan seluruh amal-amalnya untuk menutupi kemungkinan bertambah kekhilafannya.
Mungkin akan berat, tapi kami sebenarnya sudah menyiapkan hati kalau kami tak akan pernah lagi melihat lagi jasadnya untuk terakhir kali, bukankah Eril lahir di New York yang berada jauh diseberang, mengapa tidak jika iya wafat di Swiss yang jauhnya juga tidak berbilang.