Namun meskipun hal itu diperjanjikan, menurut Mahkamah Agung, denda sebesar itu dipandang tidak layak karena bertentangan dengan kepatutan dan rasa keadilan masyarakat.
Mahkamah Agung berpendapat adalah patut dan adil apabila denda keterlambatan membayar tersebut disesuaikan dan ditetapkan sebesar 3 persen setiap bulan terhitung sejak tanggal gugatan diajukan sampai dengan sisa hutang pokok dibayar lunas.
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam praktik peradilan, hakim dapat memasuki dan meneliti isi perjanjian untuk menentukan apakah perjanjian tersebut telah memenuhi rasa keadilan dan/atau nilai yang ada di masyarakat.
Sehubungan dengan besaran bunga dan denda pinjaman yang tidak wajar, hakim diberikan wewenang untuk menyesuaian besarannya sesuai rasa keadilan dan nilai kewajaran. Tidak terkecuali dalam perjanjian pinjol.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdapat ruang gerak bagi hakim untuk memasuki perjanjian antara penyelenggara atau pemberi pinjol dengan konsumen, termasuk menilai dan meneliti apakah besaran bunga dan denda pinjol telah memenuhi rasa keadilan dan nilai kewajara.
Tidak menutup kemungkinan pula bahwa dari pemeriksaan yang dilakukan, hakim akan menyesuaikan besaran bunga dan denda yang nilai tidak wajar dan/atau tidak memenuhi rasa keadilan yang ditetapkan pemberi pinjol dan disepakati dalam perjanjian.
Untuk itu, sudah sepatutnya apabila setiap pihak yang berkepentingan dan/atau terlibat dalam transaksi pinjol mempertimbangkan rasa keadilan dan nilai kewajaran dalam menetapkan besaran bunga.
Hal ini karena ketidakwajaran dan ketidakadilan yang tertuang atau tersirat di dalam perjanjian akan menjadi akses masuk bagi hakim untuk menilai hal tersebut dan menyesuaikan dengan nilai hukum yang berlaku.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bunga dan Denda Pinjol yang Tinggi Bisa Dipangkas, Simak Ulasan Hukumnya"
Source | : | kompas |
Penulis | : | Ayudya Winessa |
Editor | : | Miya Dinata |
Komentar