Dilansir dari laman resmi hukumonline.com, ada beberapa aturan terkait dengan penyebab perceraian suami istri yang diatur dalam UU.
Berdasarkan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Kemudian lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. alah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Sementara itu apabila dalam kasus perselingkuhan, pihak istri sebenarnya bisa melaporkan hal ini ke pihak berwajib.
Istri berhak melaporkan suami yang kepergok selingkuh lebih dulu ke pihak yang berwajib (Polisi) atas dugaan melakukan tindak pidana zina seperti diatur dalam pasal 284 KUHP.
Jika terbukti, putusan pidana itu yang dijadikan dasar dan bukti otentik menggungat cerai suami atas dasar telah melakukan zina.
Dikutip dari dntlawyers.com, hal itu diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak/zina (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak/zina (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya”.
Berbicara hukum, maka kita bicara soal pembuktian, tidak bisa hanya didasarkan pada dugaan-dugaan atau asumsi-asumsi yang tidak berdasar.
Semoga informasi ini dapat membantu.
Source | : | Hukumonline.com |
Penulis | : | Nindy Nurry Pangesti |
Editor | : | Nindy Nurry Pangesti |
Komentar